Dari Gelap ke Terang: Listrik 24 Jam di Pulau Laiya
Ringkasan Berita
Bertahun-tahun lamanya, warga Pulau Laiya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) hidup dengan keterbatasan listrik. Saat matahari terbenam, suara genset menjadi penanda bahwa malam telah tiba. Listrik hanya menyala selama tiga jam, dari pukul enam hingga sembilan malam. Setelah itu, gelap kembali menyelimuti pulau.
Bertahun-tahun lamanya, warga Pulau Laiya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) hidup dengan keterbatasan listrik. Saat matahari terbenam, suara genset menjadi penanda bahwa malam telah tiba. Listrik hanya menyala selama tiga jam, dari pukul enam hingga sembilan malam. Setelah itu, gelap kembali menyelimuti pulau.
Namun, kondisi itu berubah di akhir tahun 2024 lalu. Wajah-wajah warga Pulau Laiya memancarkan kebahagiaan saat listrik menyala sepanjang hari, sebuah kenyataan yang dulu hanya bisa mereka bayangkan. PLTS Individual dengan Baterai hadir memberikan harapan.
“Alhamdulillah, sekarang kami sudah merasakan listrik 24 jam,” ujar Hasmiyani, warga Pulau Laiya, dengan nada haru.
Kisah serupa datang dari M. Alwi, warga lainnya. Dengan penuh semangat ia mengenang masa sebelum adanya program energi surya di desanya.
“Dulu listrik cuma tiga jam, Pak. Bahkan biayanya juga lebih tinggi daripada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) individual dengan baterai,” ungkapnya.
Program PLTS individual dengan baterai yang diberi nama SUPERSUN ini hadir sebagai bagian dari upaya pemerintah mempercepat peningkatan rasio elektrifikasi serta pemerataan akses energi di wilayah terisolir, termasuk daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T).
Kini, sebanyak 224 unit pembangkit listrik tenaga surya mikropanel berkapasitas 440 Wp hingga 700 Wp telah terpasang di Pulau Laiya. Setiap unit dilengkapi dengan penyimpanan energi berkapasitas 2 kWh dan KWh meter prabayar. Teknologi ini memungkinkan energi matahari dikonversi menjadi listrik yang bisa digunakan warga selama 24 jam penuh setiap hari.
Sebelumnya, warga hanya mengandalkan genset dengan durasi terbatas dan biaya operasional tinggi. Dengan hadirnya listrik tenaga surya, masyarakat kini menikmati sumber energi yang lebih bersih, efisien, dan terjangkau.
Manfaatnya pun langsung dirasakan oleh warga. Hasmiyani, yang berprofesi sebagai guru. Ia mengaku kehidupannya jauh lebih produktif.
“Kalau dulu, setelah semua pekerjaan rumah selesai, saya tidak bisa lagi membuat media pembelajaran karena lampu sudah mati. Sekarang, Alhamdulillah, saya bisa lanjut menyiapkan bahan belajar untuk anak-anak sekolah,” tuturnya.
Ketersediaan listrik sepanjang waktu bukan hanya soal penerangan, tetapi juga membuka peluang baru bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkomitmen terus memperluas akses listrik berbasis energi bersih dan berkelanjutan, sejalan dengan langkah menuju Net Zero Emission.
Komitmen itu kembali ditegaskan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam acara Langgas Berenergi bersama Generasi Muda di Anjungan Sarinah, Jakarta, pada Selasa (7/10/2025).
“Masih ada lebih dari 5.700 desa yang belum berlistrik. Pada akhir 2029, semua harus terang. Kemandirian energi bukan hanya soal produksi, tapi juga soal pemerataan keadilan energi,” tegasnya.
Dalam forum ini, Bahlil juga mengenang masa kecilnya di kampung tanpa listrik.
“Saya lahir di kampung tanpa listrik. Saya tidak ingin generasi berikutnya lahir dalam kegelapan. Target kami, di akhir 2029 semua kampung di Indonesia sudah terang,” tegasnya.
Kini, malam di Pulau Laiya tak lagi gelap. Cahaya dari tenaga surya menyala dari rumah ke rumah, menerangi jalan-jalan kecil dan wajah-wajah bahagia yang menyambut babak baru kehidupan mereka. Dari gelap menuju terang, Pulau Laiya kini benar-benar hidup. (NH)