Tarif Tenaga Listrik

PENGURANGAN SUBSIDI LISTRIK GOLONGAN TERTENTU MELALUI PENYESUAIAN TARIF TENAGA LISTRIK

 

LATAR BELAKANG

 

Energi listrik telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan modern manusia, tanpa listrik aktivitas menjadi lumpuh. Hampir seluruh aspek kehidupan akan terpengaruh termasuk roda pemerintahan dan perekonomian secara khusus bisa terganggu bila tidak ada listrik, hampir seluruh aktivitas kehidupan modern sangat bergantung pada listrik. Menyadari hal tersebut, Pemerintah terus berupaya menyediakan pasokan listrik kepada masyarakat, bahkan Pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk memastikan ketersediaan energi listrik yang terjangkau bagi masyarakat. PT PLN (Persero) yang menjadi perpanjangan tangan Pemerintah dalam menyediakan listrik bagi masyarakat harus terus meningkatkan kapasitasnya agar mampu mengimbangi tingginya pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia.

 

Kebutuhan listrik nasional rata-rata tumbuh sekitar 8 – 9 % per tahun. Angka ini berarti bahwa setiap tahun harus ada tambahan sekitar 5.700 MW kapasitas pembangkit baru. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Pemerintah dalam penyediaan listrik karena dibutuhkan dana yang begitu besar dalam investasi infrastruktur ketenagalistrikan, mulai dari pembangunan pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga jaringan distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen. Tantangan berikutnya adalah bahwa kenyataan rasio elektrifikasi yang baru mencapai sekitar 80,5%, artinya masih ada sekitar 19,5% masyarakat belum memiliki akses terhadap listrik sehingga tidak dapat menikmati listrik. Tantangan besar lainnya adalah kebutuhan subsidi listrik yang terus meningkat jumlahnya seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi.

 

Perlu kita ketahui bahwa subsidi listrik yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam belanja APBN terus meningkat, dimana pada tahun 2013, jumlah subsidi listrik naik mencapai Rp 101,21 triliun. Padahal pada era tahun 2000-2004, subsidi listrik hanya berkisar Rp 3,3 triliun. Ini artinya subsidi listrik mengalami laju peningkatan yang luar biasa, lebih dari 30 kali lipat. Hal ini tidak mungkin terus dibiarkan karena sangat menggerus kemampuan keuangan Negara. Untuk itu diperlukan upaya pengendalian subsidi listrik agar anggaran yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat tidak mampu, terus menerus tersedot oleh belanja subsidi listrik.

 

POTRET KETENAGALISTRIKAN INDONESIA

 

  1. Pada tahun 2012 kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik adalah 45.253 MW. Kapasitas pembangkit tenaga listrik ini naik menjadi 47.128 MW pada tahun 2013.
  2. Penambahan transmisi tenaga listrik selama kurun waktu 2004 s.d. 2012 adalah sepanjang 7.302 kms, yaitu 4.155 kms pada tahun 2004-2009 (masa Pemerintahan KIB I), dan 3.147 kms selama kurun waktu tahun 2009-2012 (masa Pemerintahan KIB II). Target penambahan panjang transmisi pada tahun 2013 melalui pendanaan APBN adalah 1.949 kms, namun hanya terealisasi sepanjang 360 kms. Hal ini akibat banyaknya kendala dalam pembebasan tanah.
  3. Penambahan jaringan distribusi tenaga listrik selama kurun waktu 2004 s.d. 2012 adalah sepanjang 134.201 kms, yaitu 31.762 kms pada tahun 2004-2009 (masa Pemerintahan KIB I), dan 102.449 kms selama kurun waktu tahun 2009-2012 (masa Pemerintahan KIB II); Target penambahan panjang jaringan distribusi dari tahun 2004 sampai dengan akhir tahun 2014 adalah 174.202 kms
  4. Target penambahan panjang jaringan distribusi pada tahun 2013 melalui pendanaan APBN adalah 9.256,74 kms, namun terealisasinya lebih besar yaitu 12.702,6 kms.
  5. Pada tahun 2012 realisasi investasi sektor Ketenagalistrikan mencapai US$ 7,41 miliar, sedangkan tahun 2013 ini investasi sektor Ketenagalistrikan dari target US$ 6.42 miliar hanya tercapai US$ 3,87 miliar atau sekitar 60,35%. Tidak tercapainya rencana investasi tahun 2013 disebabkan oleh terkendalanya proyek-proyek ketenagalistrikan akibat adanya permasalahan-permasalahan seperti pengadaan lahan, perizinan daerah, dan kendala teknis pembangkit, serta terlambatnya penerbitan DIPA SLA.
  6. Rasio elektrifikasi didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada. Pada tahun 2012 rasio elektrifikasi baru mencapai 76,56 % dan pada tahun 2013 rasio elektrikasi meningkat sebesar 3,95 % dibandingkan dengan tahun 2012. Pencapaian pada akhir tahun 2013 tersebut lebih tinggi dari pada target yang ada di dalam RPJM Nasional sebesar 76,80%. Pencapaian luar biasa ini tentunya akan terus dilakukan secara berkesinambungan sehingga pada tahun 2014, rasio elektrikasi mencapai 81,51%.

 

KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI LISTRIK

 

Pada dasarnya subsidi listrik adalah selisih antara harga jual/tarif listrik dengan biaya produksinya. Saat ini masih terdapat selisih yang jauh antara biaya produksi dengan harga jualnya ke konsumen. Seabgai gambaran, berdasarkan data realisasi tahun 2013, rata-rata BPP tenaga listrik sebesar Rp.1.289/kWh, dengan margin 7% menjadi sebesar Rp. 1.379/kWh, sementara harga jual rata-rata (tarif) yang dibayar oleh pelanggan hanya sebesar Rp.819/kWh, sehingga ada selisih sebesar Rp. 560/kWh. Untuk menutup selisih ini, pada tahun 2013, Pemerintah harus membayar selisih tersebut dalam bentuk subsidi kepada PT PLN (Persero), besarnya mencapai Rp. 101,21 triliun, untuk menjaga agar PLN dapat terus beroperasi menyediakan pasokan listrik.

 

Kebijakan subsidi listrik diawali pada tahun 2000 dengan bentuk “corporate cash flow subsidy” atau deifisit arus kas yaitu Pemerintah memberikan selisih antara biaya operasional PLN dalam penyediaan tenaga listrik dengan pendapatan tarif listrik yang diperoleh dari pelanggan PLN agar PLN tidak merugi. Kemudian pada tahun 2001 hingga tahun 2004 kebijakan subsidi listrik diganti menjadi subsidi konsumen terarah, yaitu hanya pelanggan dengan daya sampai dengan 450 VA yang diberikan subsidi, itupun hanya penggunaan 60 kWh pertama. Dengan adanya gejolak memburuknya kondisi perekonomian nasional pada tahun 2005, dimana terjadi terjadi pelemahan nilai tukar Rupiah dan naiknya harga minya dunia yang mempengaruhi kemampuan ekonomi masyarakat. Tentunya hal ini menyebabkan biaya penyediaan listrik akan membengkak yang menyebabkan harga jual listrik semestinya harus dinaikkan untuk mengimbangi. Namun untuk menjaga agar masyarakat dapat membeli listrik dengan harga yang terjangkau maka Pemerintah mengubah kebijakan subsidi listrik menjadi subsidi konsumen diperluas. Dengan subsidi konsumen diperluas ini maka seluruh konsumen yang tarif listrik nya masih dibawah biaya penyediaan nya wajib diberikan subsidi listrik oleh Pemerintah. Kebijakan ini lah yang terus berlangsung hingga saat ini dan menjadi beban keuangan Negara, dikarenakan jumlah subsidi yang terus membengkak (Gambar 1) Hal ini menyulitkan kemampuan keuangan Negara yang terbatas.

 

 

Gambar 1. Perkembangan subsidi listrik tahun 2000 – 2013

Pemerintah menyadari bahwa untuk menjaga keuangan Negara perlu dilakukan perubahan arah kebijakan. Subsidi listrik memang perlu, namun tidak boleh terus menggerus keuangan Negara dikarenakan jumlahnya yang terus meningkat. Untuk itu perlu suatu upaya bagaimana beban subsidi listrik ini dapat dikendalikan bahkan dikurangi secara bertahap. Apalagi mengingat bahwa subsidi listrik sesuai amanat Undang-undang No.30 Tahun 2007 tentang Energi maupun Undang-Undang No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan hanya untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu.

 

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pada tahun 2013, dengan meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam pembahasan APBN Tahun 2013, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang bahwa dalam penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen harus melalui persetujuan DPR-RI, maka Pemerintah melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik dengan kenaikan rata-rata sebesar 15% melalui penyesuaian secara bertahap triwulanan 4x. Dalam penyesuaian tahun 2014 ini, Pemerintah menyatakan bahwa subsidi listrik untuk 4 (empat) golongan pelanggan yang sudah mampu juga turut dihapuskan. Adapun keempat golongan pelanggan tersebut adalah :

 

  1. Pelanggan Rumah Tangga Besar (R-3, daya 6.600 VA ke atas), contoh : rumah mewah.
  2. Pelanggan Bisnis Menengah (B-2, daya 6.600 VA s.d 200 kVA), contoh : hotel bintang 3, kantor perbankan, restoran besar.
  3. Pelanggan Bisnis Besar (B-3, daya diatas 200 kVA), contoh :Shopping Center/Mall, Hotel bintang 4, hotel bintang 5, taman hiburan dan rekreasi komersil, stasiun TV swasta.
  4. Pelanggan Kantor Pemerintah sedang (P-1, daya 6.600 VA s.d 200 kVA), contoh : Kantor Pemerintah dan Pemerintah Daerah.


Pada tahun 2014, dalam rangka mengurangi beban subsidi listrik Pemerintah kembali mengusulkan penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan listrik golongan industri besar I-4 daya diatas 30.000 kVA dan industri menengah I-3 go public daya diatas 200 kVA. Semula telah disetujui penghapusan subsidi sekaligus terhadap kedua pelanggan tersebut, yang berarti bahwa tarif nya langsung dinaikkan ke tarif keekonomiannya, namun dengan memperhatikan hasil kajian LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan memberi keringanan bagi pelanggan tersebut, maka kembali dengan persetujuan DPR-RI, maka penyesuaian tariff listrik dilakukan secara bertahap 4 x 2 bulanan.


Adanya perubahan kurs yang melonjak tinggi, semula diasumsikan Rp. 10.500/USD dalam APBN 2014, namun dengan realisasi terkini kurs diproyeksikan menjadi Rp. 11.600/USD dalam APBN-P 2014, serta proyeksi tidak tercapainya target pendapatan Negara menyebabkan keuangan Negara tidak mampu menanggung beban subsidi listrik yang turut membengkak. Agar dapat menekan subsidi listrik, perlu ada perubahan kebijakan terhadap pemberian subsidi listrik. Maka dalam pembahasan APBN Perubahan Tahun 2014 dengan DPR-RI, Pemerintah kembali mengusulkan penghapusan subsidi listrik untuk 6 (enam) golongan pelanggan, yaitu :

 

  1. Industri I-3 non go public (daya diatas 200 kVA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 11,57% setiap dua bulan,
  2. Rumah Tangga R-1 (daya 1.300 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 11,36% setiap dua bulan,
  3. Rumah Tangga R-1 (daya 2.200 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 10,43% setiap dua bulan,
  4. Rumah Tangga R-2 (daya 3.500 VA s.d 5.500 VA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,70 % setiap dua bulan,
  5. Pemerintah P-2 (daya diatas 200 kVA), melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 5,36 % setiap dua bulan,
  6. Penerangan Jalan Umum P-3, melalui kenaikan tarif listrik secara bertahap rata-rata 10,69% setiap dua bulan, yang diberlakukan mulai 1 Juli 2014 sampai dengan Desember 2014.

 

Adapun dasar penghapusan subsidi listrik ini juga mengingat bahwa golongan pelanggan Rumah Tangga dengan daya diatas 1.300 VA sudah termasuk dalam kelompok kelas menengah ke atas yang tidak tepat diberikan subsidi. Sedangkan penyesuaian tarif pelanggan Industri I-3 non go public ditujukan untuk menghilangkan perbedaan penerapan tarif listrik antara Industri I-3 go public dan I-3 non go public yang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dinilai berpotensi menimbulkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat sesama industri menengah I-3.

 

DAMPAK POSITIF PENGURANGAN SUBSIDI LISTRIK

 

Kebijakan Pemerintah mengurangi subsidi listrik dengan penyesuaian TTL masih disambut negatif oleh berbagai kalangan. Namun demikian tidak selalu harus dipandang negatif, penyesuaian TTL juga memberi dampak positif, antara lain:

 

  • Selama ini masyarakat pelanggan listrik dimanjakan dengan tarif listrik yang disubsidi, mengakibatkan penggunaan listrik yang cenderung boros, dan sulit sekali diajak untuk hemat listrik. Dengan disesuaikannya tarif listrik pelanggan tersebut menjadi tarif listrik non subsidi, tentu akan memaksa pengguna dengan sendirinya untuk lebih berhemat menggunakan listrik, jika dia tidak mau membayar tagihan yang besar.
  • Dengan adanya penghematan disisi konsumen, tentu turut mengurangi tenaga listrik yang harus disediakan/dibangkitkan, terutama yang dibangkitkan dengan membakar BBM di pembangkit listrik, dan ini akan mengurangi biaya produksi listrik, dan pada akhirnya juga mengurangi subsidi listrik;
  • Dengan adanya penghapusan subsidi listrik bagi pelanggan industri menengah I-3 daya di atas 200 kVA dan industri besar I-4 daya 30.000 kVA ke atas akan merangsang pelanggan industri tersebut untuk mengusahakan kebutuhan listriknya sendiri dengan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan membeli dari PLN.
  • Subsidi listrik yang dihemat dapat dialihkan oleh Pemerintah untuk membangun infrastruktur listrik di Indonesia dalam rangka meningkatkan rasio elektrifikasi yang saat ini baru mencapai 80,51%, sehingga semakin banyak lagi daerah-daerah yang bisa menikmati listrik.
No Judul Waktu dibuat Download
1 PENGURANGAN SUBSIDI LISTRIK GOLONGAN TERTENTU MELALUI PENYESUAIAN TARIF TENAGA LISTRIK 2014 DOWNLOAD