Ditjen Gatrik Tekankan Energi Bersih Pada Kunker Spesifik Komisi VII ke PLTU Suralaya

Ringkasan Berita
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya menyediakan tenaga listrik yang ramah lingkungan, hal ini ditunjukkan dengan penyusunan perubahan Rencana Umum Ketenagalistirkan Nasional (RUKN) yang mengutamakan pembangkit berbasis EBT dan turut mendukung tercapainya Net Zero Emission di tahun 2060.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berupaya menyediakan tenaga listrik yang ramah lingkungan, hal ini ditunjukkan dengan penyusunan perubahan Rencana Umum Ketenagalistirkan Nasional (RUKN) yang mengutamakan pembangkit berbasis EBT dan turut mendukung tercapainya Net Zero Emission di tahun 2060.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, Wanhar dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten, Jumat, (01/09/2023).
“Penyediaan energi bersih dapat dilihat dari emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbasis fosil. Salah satu indikatornya mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 15 Tahun 2019 tentang baku mutu emisi pembangkit listrik termal,” ungkap Wanhar.
Wanhar menjelaskan sejak tahun 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperketat baku mutu emisi dengan nilai konsentrasi parameter SO2 dan NOx sebesar 200 mg/Nm3 , konsentrasi parameter PM sebesar 50 mg/Nm3 dan konsentrasi Hg sebesar 0,03 mg/Nm3.
“Indonesia terus berupaya untuk menerapkan baku mutu emisi yang lebih baik agar dapat bersaing dengan negara-negara yang sudah menerapkan baku mutu emisi (parameter SO2, NOx, Partikulat dan Merkuri (Hg)) untuk PLTU yang lebih ketat seperti China, Amerika Serikat dan Jepang,” jelas Wanhar.
Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyampaikan bahwa kunker ini dilakukan dalam rangka melaksanakan fungsi Pengawasan sesuai Amanat UUD 1945, dan pada hari ini dilakukan kunjungan langsung terkait implementasi teknologi PLTU yang lebih ramah lingkungan sesuai dengan standar Environmental Social Governance (ESG).
“Kualitas udara di Jakarta sedang memburuk akibat polusi udara dan menjadi perbincangan publik. Polusi udara berpotensi membuat warga terserang penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dimana puncaknya kualitas udara Jakarta menduduki posisi pertama sebagai kota dengan udara terkotor di dunia” tegas Sugeng.
Sugeng juga menyampaikan bahwa salah satu sektor yang sorot terkait dengan parahnya polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah sektor energi yakni keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Menurutnya, PLTU perlu melakukan banyak inovasi dalam menghasilkan energi yang lebih ramah lingkungan sehingga bisa bersinergi dengan energi terbarukan dalam mencapai target Net Zero Emission di Tahun 2060.
“Oleh karena itu dalam kesempatan pagi hari ini, Komisi VII DPR RI ingin berdiskusi dan meninjau secara langsung terkait profil dan kinerja PLTU Suralaya dalam pemenuhan energi listrik bagi masyarakat. Tentunya Komisi VII DPR juga ingin mengetahui langkah-langkah perusahaan dalam menghasilkan energi yang lebih ramah lingkungan, serta implementasi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) yang telah diterapkan perusahaan,” imbuh Sugeng.
PLTU Suralaya
Kunjungan Kerja di PLTU Suralaya ini diikuti oleh Komisi VII DPR RI, Direktorat Jenderal Ketenagalistrkan, Direksi PT PLN (Persero) dan Direksi PT Indonesia Power (IP).
Tergolong PLTU berbahan bakar batubara tertua di Indonesia (berumur sekitar 36 tahun), PLTU Suralaya merupakan salah satu PLTU terbesar di Indonesia yang memproduksi sekitar 50% dari total produksi PT Indonesia Power dan berkontribusi sekitar 18% dari energi listrik kebutuhan Jawa-Bali. Dengan transmisi sebesar 500 kV, pembangkit tersebut mengonsumsi batubara kurang lebih 35.000 ton per hari.
Direktur Utama PT Indonesia Power, Edwin nugraha putra menyampaikan bahwa pihaknya dan PT PLN (Persero) berkomitmen untuk selalu menjaga emisi PLTU sesuai dengan regulasi.
“PLN telah menetapkan standar pemasangan ESP pada setiap PLTU sehingga emisi yang dikeluarkan oleh PLTU selalu aman dan berada dibawah ambang batas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sesuai Permen LHK no. 15 tahun 2019, ambang batas partikulat adalah 100 mg/m3, sedangkan hasil pengukuran partikulat di Suralaya di bawah 60 mg/m3” ungkap Edwin.
Edwin menjelaskan bahwa saat ini PLTU Suralaya berhasil meraih dua penghargaan Asean Energy Award 2023 pada kategori Combine Cycle Thermal (CCT) Utilisation for Power Generation dan implementasi Biomassa, hal ini menunjukan bahwa PLN dalam menjalankan operasional pembangkit sangat patuh terhadap prinsip Environmental, Social, dan Governance (ESG).
Dalam kesempatan yang sama Direktur Manajemen Pembangkitan PT PLN (Persero), Adi Lumakso menyampaikan bahwa untuk mengandalikan polusi udara di Jakarta, PLN berkomitmen menonaktifkan PLTU dengan kapasitas hingga 1,6 GW selama masa KTT.
“PLN akan melakukan transisi energi diantaranya di sisi Sektor Hulu Ketenagalistrikan (Pembangkit), untuk dapat Net Zero Emission di Tahun 2060” jelas Adi.
Hadir juga ditempat yang sama Guru Besar Teknik Lingkungan ITB, Prof Puji Lestari yang menyampaikan telah melakukan kajian dampak kegiatan PLTU PT PLN Indonesia Power terhadap potensi polutan lintas batas dengan model dispersi pada tanggal 1-22 Agustus 2023.
“Kesimpulan yang kami dapat dalam kajian tersebut antara lain, terdapat transboundary Air Polutant (polutan Lintas Batas) terutama pada musim penghujan namun pada konsentrasi yang relatif kecil pada Jakarta, dimana pada musim kemarau tidak terjadi transboundary kearah Jakarta, konsentrasi polutan pada bulan agustus 2023 cenderung kecil dan tidak terjadi transboundary ke arah Jakarta baik untuk polutan PM2.5; NOx dan SO2,” jelas Puji.
Dalam upaya tekankan Energi Bersih, Pemerintah sangat mendukung usaha PT PLN (Persero) tersebut dalam pengembangan pembangkit listrik dengan energi bersih dan ramah lingkungan.
“Pelaksanaan kunjungan kerja di PLTU Suralaya untuk melihat langsung bagaimana kondisi penyediaan listrik pembangkit berbasis fosil dan sebagai pertimbangan dalam menyusun kebijakan ketenagalistrikan yang lebih ramah lingkungan,” pungkas Wanhar. (RA/RO)